22/11/2020 534 Readers
Senin (9/11/2020), harga CPO untuk kontrak pengiriman Januari 2021 di Bursa Malaysia Derivatif Exchange naik 1,4% dari posisi penutupan akhir pekan lalu ke level RM 3.226/ton.
Kemenangan Joe Biden dalam US election 2020 membuat risk appetite investor membaik. Aset-aset keuangan hingga komoditas kompak mencatatkan kenaikan harga.
Hari ini harga kontrak futures minyak melesat lebih dari 2,5%. Harga minyak berjangka Brent yang tadinya drop ke bawah US$ 40/barel kini sudah kembali ke level tersebut.
Harga minyak mentah turut menjadi sentimen yang menggerakkan harga CPO. Pasalnya minyak nabati ini juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel yang merupakan bahan bakar pengganti minyak.
Harga minyak yang naik membuat penggunaan biodiesel dari minyak sawit menjadi lebih menarik. Sebaliknya, jika harga minyak anjlok membuat penggunaan minyak sawit untuk biodiesel menjadi kurang kompetitif.
Hanya saja harga minyak yang masih terkoreksi sepanjang tahun membuat proyek biodiesel di Indonesia mengalami kendala. Konsumsi biodiesel di Tanah Air baru di angka 6 juta kiloliter saja sampai September dari target 9,6 juta kiloliter.
Menurut Fitch Ratings, pemerintah RI bisa saja menunda upayanya untuk mendorong konsumsi biodiesel sementara waktu di tengah melemahnya harga minyak dan tingginya harga CPO.
Biodiesel sekarang jauh lebih mahal daripada solar biasa, dan subsidi dari dana industri untuk mempromosikan produksi dan penggunaan biodiesel telah meningkat.
Fitch Ratings memperkirakan dana industri hanya dapat mensubsidi sekitar 8 juta kiloliter (kl) biodiesel, dibandingkan dengan target pemerintah sebesar 9,6 juta kl pada tahun 2020, jika tidak ada langkah lain.
Ini menunjukkan bahwa ada indikasi yang kuat target konsumsi biodiesel RI untuk tahun 2020 tak tercapai. Selain itu, prospek permintaan biodiesel pada tahun 2021 dan pungutan ekspor CPO, yang berkontribusi pada dana tersebut menjadi tidak pasti.
Kendati prospek biodiesel terutama di Indonesia masih lemah, kenaikan harga CPO belakangan ini juga didorong oleh prospek penurunan stok. Produksi turun dan ekspor yang meningkat membuat persediaan menipis.
Dalam jajak pendapat Reuters terbaru, persediaan minyak sawit Malaysia kemungkinan merosot ke level terendah tiga tahun pada bulan Oktober akibat cuaca hujan yang kurang bersahabat dan pembatasan akibat pandemi.
Stok minyak sawit di produsen terbesar kedua dunia diperkirakan turun 9,8% (mom) di bulan Oktober menjadi 1,56 juta ton atau terendah sejak Juni 2017 setelah kenaikan marjinal dalam dua bulan terakhir.
Malaysia secara historis mengalami peningkatan stok minyak sawitnya pada Oktober, kata para analis.
"(Puncak) dari hujan yang lebat mengganggu aktivitas panen dan adanya pengurangan tenaga kerja di tengah merebaknya Covid-19 kemungkinan akan menurunkan output," kata Sathia Varqa, salah satu pendiri Palm Oil Analytics yang berbasis di Singapura kepada Reuters.
Penutupan perbatasan dan perintah sementara di negara bagian utama penghasil kelapa sawit Sabah agar perkebunan bekerja dengan kapasitas setengahnya untuk membantu menahan wabah virus Corona telah menyebabkan kekurangan pekerja yang memanen buah sawit yang mudah rusak dan pada akhirnya merusak hasil panen.
Produksi minyak sawit kemungkinan turun 5,6% (mom) ke terendah dalam lima bulan menjadi 1,77 juta ton, sementara ekspor diperkirakan naik 5,5% ke level tertinggi tiga bulan menjadi 1,7 juta ton.
Dewan Minyak Sawit Malaysia akan merilis data resmi pada 10 November. Hasil median survei Reuters menyebutkan konsumsi Malaysia pada Oktober mencapai 283.556 ton.
Ekspor yang tinggi ke India selama musim perayaan Diwali berhasil mengimbangi lemahnya ekspor ke Uni Eropa dan China bulan lalu, tetapi pembelian India diperkirakan melambat pada November.
Tingkat stok kemungkinan akan mengetat hingga akhir tahun karena perkebunan memasuki musim produksi yang lebih rendah dan periode musim hujan yang lebat di kawasan tropis pasifik sebagai akibat dari fenomena La Nina.