21/11/2020 603 Readers
Efisiensi bisnis dan operasional mutlak segera dilakukan khususnya menyangkut kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak tenaga kerja. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono mengaku industri kelapa sawit sudah mulai memasuki era digital terutama di perkebunan kelapa sawit.
Gapki telah meluncurkan aplikasi Pro-Sawit. Aplikasi ini memfasilitasi petani untuk mengunggah produksi tandan buah segar (TBS) yang akan dijual ke pasar. Diharapkan dengan adanya aplikasi ini bisa membantu para petani kelapa sawit dalam memasarkan hasil perkebunannya dengan harga bagus dan sesuai dengan dinamika pasar.
Dalam aplikasi ini juga disajikan harga sawit terkini. “Mau tidak mau harus menggunakan teknologi. Dengan teknologi juga memberikan efisiensi dan tentu memudahkan memantau aktivitas di kebun secara realtime ,” tuturnya. Demikian pula dengan pabrik kelapa sawit yang mulai menggunakan teknologi digital untuk memudahkan pekerjaan di industri sawit.
Era Revolusi Industri 4.0 juga tidak terlepas dari peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Gapki telah memberikan sertifikasi kepada para pekerja di sektor kelapa sawit yang dianggap mumpuni. Di sisi lain, pemerintah telah menggandeng dunia usaha asal Uni Eropa (UE) untuk ikut menyuarakan kekecewaan Pemerintah RI sekaligus membantu proses negosiasi dan diplomasi pemerintah Indonesia pada UE terkait tindakan diskriminasi UE terhadap kelapa sawit asal Indonesia.
Sebagaimana diketahui, sejak 13 Maret 2019 lalu, berdasarkan kebijakan UE, Komisi Eropa mengeluarkan regulasi turunan (Delegated Act) dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) yang mengklasifikasikan kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi ILUC (Indirect Land Use Change).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, posisi keras Pemerintah RI dalam menanggapi dirilisnya konsep Delegated Act RED II oleh Komisi Eropa tersebut. Dia menegaskan, kelapa sawit merupakan komoditas sangat penting bagi Indonesia. Ini tercermin dari nilai kontribusi ekspor crude palm oil (CPO) senilai USD17,89 miliar pada tahun 2018.
Industri ini juga berkontribusi hingga 3,5% terhadap Produk Domestik Bruto. Selain itu, industri sawit menyerap 19,5 juta tenaga kerja, termasuk 4 juta petani kelapa sawit di dalamnya. “Kelapa sawit bukan hanya menghasilkan devisa yang banyak, tetapi juga mempekerjakan orang banyak sekali. Bisa dilihat bagaimana tingkat kemiskinan di daerah penghasil kelapa sawit itu turun lebih cepat,” ujarnya belum lama ini.
Kelapa sawit juga menjadi bagian penting dalam strategi pemenuhan kebutuhan energi nasional menggantikan bahan bakar fosil. Target produksinya mencapai 9,1 juta kl yang dijalankan melalui program mandatori biodiesel (B-20) sejak 2015. “Dengan peranan kelapa sawit tersebut, jelaslah bahwa kelapa sawit mempunyai peranan penting dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia yang juga merupakan prioritas pertama dalam pencapaian SDGs 2030,” katanya.
Apabila nanti kebijakan ini disetujui Parlemen Uni Eropa, pemerintah akan mengambil keputusan tegas membawa kasus ini ke lembaga hukum perdagangan internasional, Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). “Jadi, kita tidak mau ini diganggu gugat apalagi dengan cara rumusan proteksionisme terselubung kemudian diubah yang ujungnya diskriminasi,” kata Darmin.
Darmin juga menggarisbawahi hubungan, baik antara Indonesia dan Uni Eropa yang sudah terjalin sejak lama, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini terefleksi dalam perdagangan dan investasi. Kemitraan strategis antara ASEAN dan Uni Eropa saat ini ditunda. Indonesia akan mengkaji ulang hubungan bilateral dengan negara-negara anggota Uni Eropa yang mendukung tindakan diskriminatif yang diusulkan Komisi Eropa tersebut.
“Kami khawatir apabila diskriminasi terhadap kelapa sawit terus berlanjut, akan memengaruhi hubungan baik Indonesia dan Uni Eropa yang terjalin sejak lama. Terlebih saat ini kita sedang melakukan pembahasan intensif pada perundingan Indonesia-Uni Eropa CEPA (Comprehensif Economic Partnership Agreement),” tuturnya.
Senada dengan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, industri sawit juga berkontribusi menurunkan tingkat kemiskinan ke bawah 10%. Untuk itu, Pemerintah Indonesia meminta dukungan penuh dari dunia usaha asal Uni Eropa untuk menyampaikan concern serta keprihatinan Indonesia pada pemerintahan negara-negara UE melalui investor dari perusahaan yang hadir hari ini terkait tindakan diskriminasi terhadap kelapa sawit.